Sabtu, 05 Desember 2015

Negeri Para Pencatut yang Tak Kenal Takut

Sudah hampir dua minggu mungkin tayangan di televisi dipenuhi dengan skandal pencatutan nama presiden dan wakil presiden untuk perpanjangan kontrak karya Freeport di Indonesia yang dilakukan oleh yang terhormat Ketua DPR-RI (Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia) Bapak Setya Novanto. Saya dan mungkin juga sebagian besar rakyat negeri ini rasanya sudah jengah, bosan, bahkan muak dengan segala kasus dan skandal para wakil rakyat itu. Lantas saya memilih untuk acuh begitu?! Oh, TIDAK. Meski tidak bisa bersuara lantang di media massa mana pun, dan bahkan tidak akan digeming oleh siapa pun tapi nurani sebagai anak negeri menggerakkan jemari saya menulis sekelumit isi hati sebagai ungkapan kekecewaan atas bobroknya moral dan mental sang legislator. 
Sungguh menyesakkan jika tahu orang-orang yang kita anggap dan kita percaya dapat mewakili aspirasi dan menyuarakan berjuta keluh rakyat justru menari di atas permadani kesengsaraan bangsa sendiri. Pertunjukan apa yang hendak Bapak pertontonkan pada kami, rakyat yang sudah dengan ikhlas dan senang hati, dulu, datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk memegang sebuah paku yang ujungnya diikat tali rafia karena takut diambil oleh orang yang mungkin membutuhkan paku untuk menambal dinding bambu rumahnya yang koyak, mencoblos gambar wajah penuh wibawa Bapak dengan untaian senyum kharismatik, melipat surat suara penuh kehati-hatian takut jika foto Bapak terkoyak dan batal disahkan, dan pulang dengan kenyataan perut lapar tanpa makanan. Namun sebersit harapan seolah menyilaukan pandangan kami dan mengabaikan segala perih perut itu. 
Dan Sekarang, dengan apa yang Bapak lakukan sungguh sudah teramat sangat menyakitkan. Tidak hanya bagi cacing-cacing di perut kami yang terus mengoyak dinding lambung dan usus meminta nasi, tapi juga menyakitkan bagi hati, yang benar-benar "hati" kami. Lantas, apakah Bapak Juga masih punya "hati"?. 
Bersikaplah sebagai negarawan sejati, Pak! Tidak hanya menjadi petinggi negara yang suara dan "hati"nya terpenjara oleh ambisi pribadi. Jadilah dermawan yang tidak hanya mendermakan harta hasil lobi atau pencatutan, korupsi atau gratifikasi tetapi murni dari hasil keringat Bapak sendiri -dan halal-. Jangan hanya sebarkan kedermawanan Bapak pada keluarga dan kongsi, tapi juga pada kami melalui keseriusan mengurus negeri. Takutlah pada balasan Tuhan yang sudah memberikan amanah untuk dijalankan sesuai aturan bukan takut kehilangan jabatan, kedudukan, dan uang. Jangan bersembunyi di balik ketiak para pemilik ambisi senyap itu.
Dan untuk Bapak Presiden yang terhormat, bersuaralah, Pak. Jangan hanya diam dan menyerahkan segalanya pada kewenangan pihak tertentu. Saya mengerti, mungkin maksud Bapak tidak ingin memperkeruh suasana. Tapi kami juga ingin tahu bagaimana  sikap dan langkah yang Bapak akan dan sedang Bapak lakukan menghadapi kasus ini. Tidak perlu tebar kesedihan untuk menarik simpati publik, Pak. Saya tahu Bapak bukan pribadi lemah dan under control seperti itu. Tapi kami ingin masalah ini dapat cepat terselesaikan dengan ketegasan sikap seperti yang banyak Bapak Presiden tunjukkan selama ini.
Terakhir,  bersikap dan bertindaklah sebagai pemberi keadilan sejati wahai para Bapak anggota MKD(Mahkamah Kehormatan Dewan) yang dimuliakan. Jangan bungkam suara hatimu dengan keberpihakan pada pihak yang jelas-jelas hendak merugikan tanah dimana engkau dan juga keluargamu serta kami berpijak.
Jangan biarkan julukan sebagai "Negeri Para Pencatut yang Tak Kenal Takut" benar-benar tersemat bagi Bumi Pertiwi, Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar