Selasa, 24 Juni 2014

Media bukan "Men-dia-kan"

Sebagai bagian dari warga dunia yang sudah mengglobal tentu tidak sulit bagi kita untuk mengakses beragam informasi baik itu dari media cetak maupun elektronik. Ditambah lagi dengan euforia demokrasi pers di Indonesia membuat insan jurnalistik seakan berlomba menyuguhkan berita teraktual dan terkini seolah terlepas dari belenggu kebiri di masa sebelum era reformasi. Tak bisa dipungkiri hal ini membawa pengaruh positif pada masyarakat. Wawasan masyarakat makin luas dan pola pikir terbuka, tidak lagi terkungkung pada satu doktrin dengan mengatasnamakan fanatisme. Aspirasi masyarakat pun lebih mudah tersampaikan karena pada hakekatnya media adalah jembatan emas penyampai suara rakyat agar bisa diapresiasi kaum aristokrat. Namun apa jadinya jika media publik yang seharusnya menjadi referensi informasi tanpa embel-embel provokasi justru menunjukkan terang-terangan preferensinya pada salah satu/seorang yang dianggap memberi keuntungan bagi si empunya media? Ironis. Ditengah hiruk-pikuk pesta demokrasi saat ini, media publik yang menjadi sandaran rakyat memperoleh gambaran figur sang calon pemimpin negeri secara transparan seolah tersamar oleh kepentingan. Media yang semestinya memberikan informasi berimbang seolah tak kuasa dengan rayuan sang calon penguasa. Negara kita memang masih muda dalam pengalaman berdemokrasi, tetapi itu bukan alasan tepat untuk menggiring opini publik terlebih melalui industri informasi. Media seyogyanya adalah tempat bernaungnya kaum idealis sekaligus kritis bukan pragmatis serta mudah tergiur oleh kepentingan kaum oportunis. Media juga semestinya bisa menyuguhkan informasi faktual sekaligus mendidik, bukan semata menarik publik ke dalam pemahaman yang tidak benar-benar mereka pahami. Karena sejarah membuktikan, media adalah salah satu pilar pendukung peradaban dunia. Yang tidak hanya menjadi rujukan ketetapan keyakinan namun sekaligus membuka dimensi baru menuju terciptanya A BETTER FUTURE.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar