Kamis, 10 Juli 2014

Antara Pemilu dan Pemalu

Akhirnya 9 Juli lewat juga. Lega? Nggak juga, terutama bagi yang masih harap-harap cemas menunggu hasil resmi rekapitulasi KPU tanggal 22 Juli nanti. Tren quick count (hitung cepat) yang dirilis oleh lembaga-lembaga survey independen membuat bayangan siapa yang nanti akan menduduki kursi orang nomor satu di Indonesia sudah bisa sedikit diramalkan. Terlepas dari valid atau tidaknya hasil dari lembaga-lembaga survey tersebut, at least sudah memuaskan sedikit rasa penasaran publik. Beberapa lembaga survey mengunggulkan salah satu pasangan capres dan cawapres yang kemudian memunculkan polemik baru pasca general election. Saling klaim pasangan capres dan cawapres bahwa mereka adalah pemenang pemilu membuat publik jengah. Is this not enough??? Pyewwwww........tarik napas dalam-dalam pun pasti dilakukan sebagian besar rakyat yang melihat ketidakdewasaan berpolitik para elite yang seharusnya menjadi teladan bagi kalangan grass root. Then apa kaitan PEMILU dan PEMALU? Begini, dalam azas PEMILU di Indonesia yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luberjurdil) jelas tertera kata rahasia yang dimaknai sebagai kebebasan tiap individu untuk menentukan pilihan dan berhak menutupi pilihannya dari siapapun. Jika dikaitkan dengan norma ketimuran bukankah menutupi berarti memiliki rasa malu?! Malu karena mungkin menganggap pilihannya terlampau subjektif tanpa melihat kinerja, atau malu karena memilih karena dorongan dan pengaruh dari orang lain, atau malu karena sebenarnya dia tidak punya pilihan lain (means; terpaksa). Ini konotasi malu dari sisi pemilih, bagaimana dengan para calon terpilih? Ini hebatnya politik penokohan yang didukung simpatisan massive di Indonesia. Begitu hasil quick count rilis, dalam hitungan jam bahkan menit, massa sudah turun ke jalan merayakan klaim kemenangan masing-masing. Saya pribadi tidak menyalahkan massa pendukung itu, mereka adalah supporter sekaligus mesin suara yang terlampau mengidolakan pilihannya. Namun jika semua calon terpilih mengaku dirinya adalah pemenang, kira-kira dimana letak rasa malu-nya? Ok, ini masih hasil sementara, belum sah, belum tentu valid, bisa jadi direkayasa oleh cyber criminal atau apapun dalihnya. Tapi tidakkah Anda para calon pemimpin bangsa dapat bersikap lebih bijaksana dengan menjadi sosok tawadu’, bisa menerima sedikit, sekali lagi sedikit pilihan rakyat yang terwakili oleh si “teknologi penghitung cepat’ biang keladi perang statement ini. Setidaknya jika Anda tidak atau belum bisa menerima, bersikaplah gentle dan “pemalu” agar rakyat tak makin bergejolak. Pemalu tidak selalu identik dengan rendah menilai diri dan golongan, tapi pemalu juga dapat diberi penilaian sebagai individu yang memiliki kelebihan dalam kehalusan pekerti. Ingatlah, berdiri diatas perbedaan tidak selamanya harus diwarnai dengan ketidakselarasan. Apapun hasilnya, siapapun pemimpinnya nanti kita tetap akan menjadi saudara sebangsa yang mengedepankan persatuan dan kesatuan. Jadilah para calon pemimpin yang dapat memberi rasa damai bahkan sebelum benar-benar menjadi imam bagi negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar